Sound Horeg dan Gaya Hidup Bising yang Dianggap Keren
“Pokoknya yang penting rame, Mas!”
Itulah prinsip hidup sebagian warga +62.
Karena buat mereka, acara tanpa sound system segede kulkas dua pintu rasanya belum sah.
Entah itu nikahan, sunatan, atau lomba balap karung—semua wajib ditemani sound horeg.
Meriah Boleh, Tapi Kenapa Kuping Kami yang Tersiksa?
Fenomena sound horeg ini makin liar.
- Speaker-nya satu kampung,
- bass-nya bisa mengguncang tulang rusuk,
- dan vokalnya… ya ampun, lebih pecah dari hubungan toxic.
“Suara vokal pecah? Bagus dong, berarti mantap!”
Enggak, Pak. Itu bukan ‘mantap’, itu polusi suara.
Yang mantap tuh data akustik, bukan volume 100%.
Dari Hiburan ke Teror Lingkungan
Dulu, orang cari hiburan ke radio.
Sekarang, hiburan datang ke rumah—tanpa izin, tanpa rem.
- Jam 5 sore speaker sudah check sound
- Maghrib masih dangdutan
- Jam 10 malam joget masih berlanjut
- Dan besok pagi… sisa-sisanya bikin anjing tetangga insomnia
Kalau ditegur?
“Ini acara keluarga, Mas. Sekali-sekali lah!”
Tapi kenapa ‘sekali-sekali’ itu bisa setiap minggu?
Volume ≠ Kualitas
Entah kenapa sebagian masyarakat mengira:
semakin keras = semakin keren.
Semakin pecah = semakin profesional.
Padahal, dalam dunia audio, volume bukan segalanya.
Yang penting itu clarity, balance, kenyamanan.
Tapi ya, coba jelaskan itu ke orang yang setel remix “Ojo Dibandingke” jam 2 pagi di tengah kampung.
Akhir Kata
Kami tidak anti hiburan.
Kami tidak anti acara.
Tapi kalau gaya hidup bising ini terus dianggap normal,
maka yang rusak bukan cuma telinga —
tapi juga rasa tenggang rasa.
“Kadang yang keras bukan suaranya, tapi kepala orang yang gak mau diatur.”
Sound system itu alat, bukan senjata.
Tolong jangan ditembakkan ke kampung sebelah.
Ditulis oleh Wasis Sarwo Estu