AI dan Kita: Ngopi Bareng Mesin

Dulu waktu kecil, kalau denger kata robot, yang kebayang adalah Doraemon. Sekarang? Robotnya udah bisa gambar lebih bagus dari desainer grafis, bisa ngobrol lebih nyambung dari gebetanmu, dan bisa nulis caption yang lebih estetik dari kamu yang udah ikut kelas copywriting 3,5 juta.

Artificial Intelligence alias AI itu sekarang udah bukan barang ajaib dari masa depan. Dia udah tinggal bareng kita. Bahkan, kadang kita nggak sadar dia lagi duduk di sebelah, dengerin, ngintipin chat, terus nawarin lagu atau produk yang somehow pas banget sama isi kepala kita.

Pertanyaannya: kita ini sebenarnya lagi dibantu, atau malah dibantai pelan-pelan?

Dunia yang Terlalu Pintar

Google udah tau kita mau nulis apa sebelum kita ketik. Spotify tau lagu galau mana yang pas buat malam minggu sepi. Bahkan kamera HP udah tau mana yang jerawat, mana yang perlu di-blur. Dunia ini makin pintar, dan kita? Makin ngerasa kayak anak magang di kantor teknologi.

Dan lucunya, kita malah asik-asik aja. Kita bilang “wah keren ya AI sekarang!” padahal dalam hati mulai panik: “besok-besok kerjaanku diganti mesin gak ya?”

Antara Manusia dan Mesin

Tiap kali orang ngomong “AI akan menggantikan manusia,” saya pengen bilang: “Bro, nggak semua manusia layak diganti AI. Kadang AI-nya juga males.”

Tapi serius, bukan berarti kita harus parno. AI itu cuma alat. Sama kayak pisau dapur. Bisa buat masak, bisa juga buat nyilet perasaan. Yang penting, siapa yang pegang dan gimana dipakainya.

Kita Harus Apa?

Kita bisa:

Ngembangin hal yang manusiawi, kayak empati, kreativitas, dan kemampuan ghibah yang tidak bisa ditiru mesin
Belajar ngerti cara kerja AI biar nggak kayak nenek-nenek yang ditawarin koin kripto
Dan kadang, cukup tahu kapan harus cabut colokan dan take a walk sambil liat langit — sesuatu yang AI belum ngerti nikmatnya

Penutup: Antara Canggih dan Canggung

AI bukan musuh, tapi juga bukan teman yang bisa diajak curhat jam 2 pagi. Dia itu lebih kayak… teman kost yang rajin dan efisien, tapi dingin dan nggak pernah senyum. Kamu perlu dia, tapi jangan terlalu dekat. Nanti kamu kecewa kalau dia nggak ngerti perasaanmu.

Dan kalau suatu saat kamu disuruh presentasi hasil kerja, dan bosmu bilang, “Kok ini kayak ChatGPT yang nulis ya?”, kamu cukup jawab: