Teknologi Maju, Tapi Masih Dicetak Dulu Biar Bisa Diketok
Teknologi sudah jauh.
Semua bisa dilakukan lewat layar.
Tanda tangan? Digital.
Dokumen? PDF.
Laporan? Sudah ada dashboard.
Pengarsipan? Cloud.
Proses? Otomatisasi.
Tapi di lapangan…
“Coba dicetak dulu, biar bisa saya ketok.”
Sentuhan Itu Masih Harus Pakai Kertas
Bagi sebagian orang — terutama yang sudah lama hidup dalam sistem analog — kemajuan teknologi justru terasa mencurigakan.
- Tanda tangan digital dianggap tidak sah.
- File PDF dianggap belum “ada fisiknya”.
- Form isian di tablet diminta diprint.
- Sudah ada dashboard, tapi tetap disuruh rekap manual di Excel.
- Sudah ada approval elektronik, tapi “harus disampaikan langsung ke pimpinan biar kelihatan kerja”.
SDM Bukan Soal Umur, Tapi Pola Pikir
Bukan berarti semua yang gaptek itu tua.
Banyak juga yang muda tapi mentalnya masih “fotokopi dulu biar aman”.
Masalahnya bukan teknologi.
Masalahnya resistensi terhadap perubahan.
Merasa nyaman dengan cara lama, padahal cara baru lebih efisien dan akurat.
Lucunya, kadang yang menolak justru pakai HP dua layar — tapi tetap minta laporan dicetak bolak-balik.
Touchscreen di Layar Masih Belum Sekuat Touchscreen di Kertas
Kadang teknologi tidak ditolak karena susah, tapi karena tidak memberi rasa kuasa.
Orang ingin melihat stempel.
Mendengar bunyi ketokan meja.
Menyerahkan map.
Menjilid laporan.
Padahal semua itu bisa diganti dengan sistem digital yang lebih rapi dan bisa diakses kapan saja.
Tapi ya itu…
“Kalau belum dicetak, saya nggak yakin datanya masuk.”
Akhir Kata
Teknologi bisa maju secepat apapun.
Tapi kalau pola pikir manusianya tetap parkir, kita cuma muter di tempat — sambil antri di depan printer.
“Kadang kemajuan bukan soal alat, tapi soal keberanian untuk melepaskan cara lama.”
Kalau touchscreen di layar belum dipercaya,
mungkin kita perlu bikin printer yang bisa ngeluarin hologram.
Ditulis oleh Wasis Sarwo Estu